Halaman

Selasa, 18 Desember 2012

5 cm, van der Steur, dan Eksploitasi Wisata

Beberapa hari ini, jagad perfilman di negeri ini dihebohkan dengan tayangnya film '5 cm' di jaringan bioskop di berbagai kota. Entahlah film apa ini, karena aku sendiri tidak tertarik. Menurut beberapa teman yang sudah menonton maupun membaca novelnya, ini mengambil latar pendakian gunung. Dan komentar mereka yang telah menonton film ini hampir seragam, 'Pengen mendaki gunung (lagi)'.

Di sisi lain, seorang teman, Zizou, baru saja mengunjungi situs makam van der Steur yang berada di kompleks eks kerkhoff, Jl. Ikhlas, Magelang. Mungkin buat kebanyakan orang, situs ini tidak diketahui di mana tempatnya, karena letaknya tersembunyi dan tersamarkan oleh deretan ruko. Selain itu, publikasi mengenai situs ini juga jarang ditemukan. Tapi bagi kalangan pemerhati sejarah kota Magelang, situs ini telah lama diketahui.

Lantas, apa hubungannya film 5 cm, dan situs van der Steur? Kok sepertinya ndak nyambung yak? (Kalau dipikir benar juga sih, ndak nyambung, wong cuma ada di kepala saya sambungannya).

Oke, balik ke topik asal. Kaum muda negeri ini memang terkenal sebagai orang yang latah mengikuti trend. Apa saja yang sedang ramai dibicarakan, serta merta diikuti. Seperti halnya fenomena film 5 cm di atas, seolah-olah berbicara 'kamu kurang gaul kalau belum naik gunung'. Ya, karena semua orang menjadi latah pengen naik gunung setelah menonton film tersebut.

Begitu juga merebaknya kaum traveler alias pejalan di tengah menjamurnya maskapai penerbangan LCC. Sekarang tiket pesawat murah, hingga orang yang hidupnya pas-pasan saja bisa terbang, begitu kata seorang teman. Semua berlomba menjadi pejalan dengan ditandai pergi ke suatu tempat dan berfoto di depan tetenger tempat tersebut untuk diunggah ke media sosial. Secara tidak langsung mereka berkata, "Hey, I've been there!"

Sementara itu, situs bersejarah van der Steur sangat minim publikasi dan informasi. Kaum pejalan yang hendak mengunjunginya, hanya mengandalkan informasi dari sesama pejalan yang sebelumnya pernah mengunjungi tempat ini. Informasi dari otoritas wisata kota Magelang, mungkin belum ada. Bisa jadi yang ada di pemikiran mereka, 'mau pakansi kok ke kuburan, aneh'. Untuk saat ini, publikasi hanya bergantung pada kaum pejalan dan komunitas pemerhati sejarah.

Nah, ini yang menjadi simpulnya. Pejalan yang latah dan situs baru yang dipopulerkan oleh kaum pejalan. Mereka seolah-olah berlomba mencapai situs ini, karena situs ini belum banyak terjamah. Ujung-ujungnya, mereka pola pikir yang tertanam, 'belum gaul kalau belum kesini' tanpa berpikir, situs yang mereka kunjungi sebenarnya adalah kompleks makam, suatu tempat yang sakral menurut saya.

Seandainya hal buruk itu terjadi, pemelihara situs itu dapat menutup situs ini dari pengunjung umum. Siapa yang dirugikan? Bukan kaum pejalan saja, tapi Magelang akan kehilangan satu sejarahnya. Bisa jadi generasi  setelah kita tidak akan mengenal siapa van der Steur, hanya karena pejalan yang ceroboh.

Ah, semoga segala ketakutan saya tidak terjadi. Janganlah kita menjadi pejalan yang latah dan tidak menemukan apa arti perjalanan itu sendiri. Marilah kita promosikan tempat yang kita pernah kita kunjungi dengan sewajarnya sehingga semua dapat belajar tentang tempat-tempat indah yang ada di dunia ini.

Salam

Terima kasih buat obrolan bersama Zizou dan Sinchan beberapa hari ini yang menginspirasi tulisan ini

1 komentar:

  1. nanti kejadiannya malah kayak upacara waisak gitu deh, ya kan ya? salam kenal! :)

    BalasHapus